Suku Balantak
adalah suatu suku yang berdomisili di kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, yang sejak lama hadir
di wilayah ini dengan adat istiadatnya. Kehidupan suku Balantak ditopang oleh
lingkungan wilayah yang masih alami dengan kekayaan alamnya subur sehingga
tidak pernah ada bencana kelaparan di daerah itu.
Dahulu di
wilayah ini terdapat 7 kelompok masyarakat yang bersatu dalam Rumpun Pitu Bense
Tompotika Pokokbondolong yang berbicara dalam bahasa yang sama, dari keturunan
bahasa Gombe, yang mana bahasa Gombe adalah bahasa nenek moyang mereka..
Menurut dugaan, bahwa pada masa penjajahan Belanda, ke-7 kelompok yang bernama
Rumpun Pitu Bense Tompotika Pokokbondolong ini, bersatu melawan pasukan
kolonial Belanda. Setelah sekian lama mereka berbaur, terjadi proses
kawin-campur di antara 7 kelompok ini, sehingga terbentuklah suatu komunitas
suku yang disebut sebagai suku Balantak.
Bahasa suku
balantak
Bahasa Balantak adalah sebuah bahasa Austronesia yang dipertuturkan di Semenanjung Timur Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Indonesia.[5]Dalam percakapan sehari-hari (berkomunikasi), orang Balantak menggunakan bahasa daerahnya itu dengan beragam dialek. Walau beragam dialek namun tetap masih saling mengerti dan memahami apa yang dikatakan. Masing-masing sub suku yang ada di Balantak memiliki dialeknya sendiri yakni Lo'on dengan dialek Lo'on, Bula dengan dialeknya, Ruurna (Buada) dengan dialeknya dan begitu pula dengan Batu Biring dan Nggoube. Sedangkan Masama atau Andio menggunakan bahasa tersendiri yakni percampuran antara bahasa Balantak dan Saluan yang oleh masyarakat suku Balantak disebut Baala atau campuran
Sistem Mata Pencaharian Hidup
1. Berburu
Pada zaman
dahulu kala, berburu atau molako’ merupakan mata pencaharian orang Balantak.
Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman ke zaman, mata pencaharian ini
sudah mulai hilang. Hal ini disebabkan karena orang Balantak sudah mengenal dan
menggarap tanah untuk diolah. Dahulu kala, penduduk mempunyai mata pencaharian
berburu babi hutan (bau’), rusa (donga), kus-kus (kuse), burung (sapu’), ayam
hutan (rowo’). Berburu atau molaku saat ini masih terdapat di desa-desa, akan
tetapi bukan menjadi sebagai mata pencaharian pokok atau utama melainkan
sebagai pekerjaan sambilan atau juga sebagai hobi berburu atau molako’.
2. Nelayan
Penduduk atau
masyarakat yang bermukim di pesisir pantai umumnya memiliki mata pencaharian
menangkap ikan (nelayan). Hampir di setiap desa memiliki pelabuhan atau
dermaga, antara lain ada pelabuhan di Bonebobakal dan Balantak dan ada juga
dermaga di Sulubombong, Boras dan desa-desa lainnya. Hasil tangkapan ikan
tersebut biasanya dijual baik melalui pasar ataupun dijual sendiri dengan
menggunakan transportasi mobil, motor, sepeda, kapal, perahu atau perahu motor
(katinting). Penduduk atau masyarakat suku Balantak menangkap ikan dengan
pukat, bubuh (poloi, balangkang) atau dengan pancing. Namun umumnya, mereka
menangkap ikan dengan pukat dan pancing (ba kololon). Akan tetapi tak jarang
dijumpai pula, ada penduduk yang menangkap ikan dengan bubuh, tuba (ba tubele)
atau mencari ikan saat air surut (ba lolongi). Ikan yang biasa ditangkap oleh
penduduk antara lain: ikan tongkol, roa (tampai’), babara, cakalang, konting,
kurita, ikan batu, dan lain sebagainya.
3. Bertani
Mata
pencaharian pokok yang terbesar dalam masyarakat suku Balantak adalah bercocok
tanam atau bertani. Bertani merupakan warisan nenek moyang turun-temurun kepada
anak-anaknya. Dikatakan sebagai warisan karena berdasarkan amanah para leluhur
tanah Balantak dengan pesan: Tiodaa Monsu’ani Tano (tiodaa: harus/musti,
monsu’ani: menanami, tano’: tanah) secara harafiah berarti: Harus menanami
tanah. Sejatinya, pesan ini mengandung makna yang amat sangat mendalam yakni
manfaatkanlah tanah dengan bercocok tanam. Artinya janganlah sekali-kali
membiarkan lahan menjadi kosong tanpa ditanami tanaman yang bermanfaat dan
berguna bagi keberlangsungan hidup kita. Bagi masyarakat suku Balantak, tanah
merupakan warisan kekayaan yang darinya dapat memberikan kehidupan. Dengan
memanfaatkan tanah untuk bercocok tanam dapat memberikan penghasilan dan
makanan untuk kehidupan. Sebab sejak dahulu kala, nenek moyang orang Balantak
sudah mengenal bercocok tanam. Maka tak heran lagi jika pesan moral ini selalu
menggema dan membahana di hati setiap masyarakat suku Balantak. Hingga saat
ini, pesan tersebut terpatri dalam jiwa masyarakat suku Balantak dan
teraktualisasi dalam pemanfaatan tanah di wilayah suku Balantak.
Hampir setiap rumah tangga memiliki
tanah baik berupa ladang atau sawah. Sistem kepemilikan tanah dalam suku
Balantak dikenal dengan tano’ku (tanah milik sendiri yang diperoleh dengan
pembelian), tano poo obosan (tanah milik yang diperoleh dari pembagian harta)
dan tano’ budel (tanah milik bersama).
Sistem
bercocok tanam di ladang (poo ale’an) ada yang hanya ditanami beberapa kali
kemudian berpindah tempat lagi, dan ada juga yang menetap. Biasanya tanah yang
berada di bagian lereng gunung hanya dipergunakan sementara waktu kemudian
ditinggalkan, sedangkan tanah yang tetap selalu dipakai adalah tanah yang
berada di daerah subur dan tidak berbukit-bukit. Ada juga beberapa penduduk
yang bertani di daerah pegunungan kemudian tinggal di kebunnya untuk beberapa
hari. Adapun tanaman yang sering ditanam adalah padi, jagung, sayur-sayuran,
rempah-rempah, ubi-ubian, pisang, buah-buahan, kelapa dan holtikultura lainnya.
Masyarakat
suku Balantak dalam mengolah lahan pertanian baik sawah ataupun ladang
menggunakan bajak (pajeko) namun seiring dengan perkembangan tekonologi zaman,
saat ini sudah mulai menggunakan mesin traktor untuk mengolah sawah atau
ladang. Pemakaian bajak atau pajeko menggunakan tenaga sepasang sapi sebagai
penarik. Ladang-ladang yang berada di lereng gunung tidak menggunakan bajak
untuk menanam padi melainkan dengan tongkat kayu atau biasa disebut dengan
“tutudak” (sebatang kayu yang ditajami ujung). Alat-alat lain yang dipakai
untuk mengolah tanah adalah cangkul (pacol).
Ketika
mengolah tanah untuk ladang, keluarga batih merupakan inti dari satuan kerja
pengelolaan lahan tersebut. Namun bila lahan ladang atau sawah tersebut besar
maka memerlukan tenaga bantuan dari keluarga dekat atau kerabat dekat dengan
system kerja sama yang dikenal dengan poo panda. Poo pandaa adalah system atau
bentuk saling kerja sama secara gotong royong dengan berbalasan atau arisan
tenaga. Poo pandaa ini dimaksudkan untuk saling membantu dalam pekerjaan agar
cepat terselasaikan. Akan tetapi dalam sistem poo pandaa, orang yang telah kita
bantu harus membalas jasa dengan bekerja di ladang/sawah kita. Dalam tradisi
masyarakat Suku Balantak, system poo pandaa ini tidak mengenal imbalan
uang akan tetapi dengan pemberian waktu dan tenaga kita.
Sebagai contoh: Tuan A, B, C memiliki sawah atau ladang. Ketiganya memerlukan
tenaga yang cukup untuk mengolah ladang/sawah tersebut. Maka Tuan A, B, C
mengadakan kerja sama mengolah ladang atau sawah. Pertama-tama, B dan C bekerja
di ladang A, kemudian A dan C bekerja di ladang B, lalu A dan B bekerja di
ladang C. Inti dari system poo panda ini adalah saya bekerja pada orang lain
dengan harapan orang lain bekerja pada saya. Makna dibalik system ini adalah
adanya saling membantu atau tolong menolong satu dengan yang lain dan orang
lain yang telah dibantu juga jangan lupa membalas kebaikan yang telah diberikan.
Poo pandaa ini biasanya hanya berlaku dalam pekerjaan. Ketika ladang atau sawah
seseorang sudah dikerjakan oleh orang lain (disebut: ni pandaa’mo) maka pemilik
ladang/sawah harus membalas tenaga dari mereka yang telah bekerja (disebut:
mongule’kon: mengembalikan). Apa yang dikembalikan? Yang dikembalikan adalah
tenaga orang yang telah bekerja pada kita; kita mengembalikan tenaga mereka
dengan memberikan tenaga kita untuk bekerja di ladang/sawah mereka. Sistem poo
pandaa ini dapat dikatakan pula sebagai system gotong royong yang menuntut
balas jasa. [Dalam tradisi Balantak ada pula system gotong royong tanpa pamrih
yang disebut poo tulungi (saling membantu). System poo tulungi dilakukan dengan
ikhlas tanpa imbalan atau balas jasa. System ini umumnya dilakukan pada saat
duka dan pekerjaan membangun fasilitas umum]. Selain poo panda, adapula yang
menyewa tenaga; adapula yang dikerjakan oleh orang lain dengan system bagi
hasil
4. Beternak
Dalam masyarakat suku Balantak,
beternak atau mo’ayop merupakan pekerjaan sambilan saja atau bahkan hanya
sebagai kesenangan saja. Hewan atau binatang ternak yang umumnya dikenal dalam
masyarakat suku Balantak adalah berupa, sapi, ayam, bebek, kuda, angsa, dan
babi. Ternak seperti kuda dan sapi umumnya dipakai sebagai pembantu tenaga
kerja dan penarik gerobak. Bagi yang beragama Islam pun memelihara ternak
tersebut kecuali babi dan anjing.
Di daerah
Balantak, ternak-ternak seperti kuda dan sapi sangat membantu penduduk untuk
mengolah lahan ladang atau sawah. Sedangkan ternak-ternak yang lain juga
biasanya dijual dan dikonsumsi oleh pemilikinya. Di daerah ini juga memiliki
pasar (Bonebobakal dan Balantak) yang menjual daging ternak atau bahkan para
penjual sendiri yang langsung datang ke kampung-kampung untuk menjual daging
ternak.
Hubungan
Kekerabatan Dan Kemasyarakatan Suku Balantak
Sifat hubungan
kekerabatan alam masyarakat Balantak adalah bilateral. Keluarga-keluarga
intinya tergabung ke dalam kesatuan keluarga luas terbatas yang disebut bense.
Sebuah desa biasanya dihuni oleh dua atau tiga bense dan tergabung lagi ke
dalam kesatuan pemukiman sosial yang disebut bosano (kampung), sistem
perkawinan bersifat endogami. Bosano juga menjadi gelar bagi kepala Desa atau
kepala Kampung yang bersangkutan. Pada masa dulu masyarakat Balantak menjadi
bagian dari kerajaan Banggai, sehingga setiap bosano bertanggung jawab kepada
raja Banggai. Pada masa sekarang pengaruh pelapisan sosial akibat adanya
kerajaan itu tidak ada lagi.
Agama Dan Kepercayaan Suku Balantak
Orang Balantak
sekarang sudah memeluk agama Islam atau juga Kristen. Namun sisa-sisa dari
kepercayaan aslinya masih nampak, dulu mereka selain memuja roh nenek
moyangnya, mereka juga memuja para dewa, seperti dewa matahari (mola), kemudian
dewa bumi (kere).
sumber :
http://suku-dunia.blogspot.com/2014/08/sejarah-suku-balantak-di-sulawesi-tengah.html
http://sukubalantak.blogspot.com/2014/01/suku-balantak.html
http://protomalayans.blogspot.com/2012/10/suku-balantak-sulawesi.html
0 komentar:
Posting Komentar