Sorry !

this blog is currently under construction

Sorry

this blog is currently under construction

Sorry

this blog is currently under construction

Sorryr

this blog is currently under construction

IlyasBlog

ilyas-and.Blogspot.com

Rabu, 22 April 2015

Suku Balantak


Suku Balantak adalah suatu suku yang berdomisili di kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, yang sejak lama hadir di wilayah ini dengan adat istiadatnya. Kehidupan suku Balantak ditopang oleh lingkungan wilayah yang masih alami dengan kekayaan alamnya subur sehingga tidak pernah ada bencana kelaparan di daerah itu.

Dahulu di wilayah ini terdapat 7 kelompok masyarakat yang bersatu dalam Rumpun Pitu Bense Tompotika Pokokbondolong yang berbicara dalam bahasa yang sama, dari keturunan bahasa Gombe, yang mana bahasa Gombe adalah bahasa nenek moyang mereka.. Menurut dugaan, bahwa pada masa penjajahan Belanda, ke-7 kelompok yang bernama Rumpun Pitu Bense Tompotika Pokokbondolong ini, bersatu melawan pasukan kolonial Belanda. Setelah sekian lama mereka berbaur, terjadi proses kawin-campur di antara 7 kelompok ini, sehingga terbentuklah suatu komunitas suku yang disebut sebagai suku Balantak.


Bahasa suku balantak

Bahasa Balantak adalah sebuah bahasa Austronesia yang dipertuturkan di Semenanjung Timur Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Indonesia.[5]Dalam percakapan sehari-hari (berkomunikasi), orang Balantak menggunakan bahasa daerahnya itu dengan beragam dialek. Walau beragam dialek namun tetap masih saling mengerti dan memahami apa yang dikatakan. Masing-masing sub suku yang ada di Balantak memiliki dialeknya sendiri yakni Lo'on dengan dialek Lo'on, Bula dengan dialeknya, Ruurna (Buada) dengan dialeknya dan begitu pula dengan Batu Biring dan Nggoube. Sedangkan Masama atau Andio menggunakan bahasa tersendiri yakni percampuran antara bahasa Balantak dan Saluan yang oleh masyarakat suku Balantak disebut Baala atau campuran


Sistem Mata Pencaharian Hidup

1. Berburu
Pada zaman dahulu kala, berburu atau molako’ merupakan mata pencaharian orang Balantak. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman ke zaman, mata pencaharian ini sudah mulai hilang. Hal ini disebabkan karena orang Balantak sudah mengenal dan menggarap tanah untuk diolah. Dahulu kala, penduduk mempunyai mata pencaharian berburu babi hutan (bau’), rusa (donga), kus-kus (kuse), burung (sapu’), ayam hutan (rowo’). Berburu atau molaku saat ini masih terdapat di desa-desa, akan tetapi bukan menjadi sebagai mata pencaharian pokok atau utama melainkan sebagai pekerjaan sambilan atau juga sebagai hobi berburu atau molako’.

2. Nelayan
Penduduk atau masyarakat yang bermukim di pesisir pantai umumnya memiliki mata pencaharian menangkap ikan (nelayan). Hampir di setiap desa memiliki pelabuhan atau dermaga, antara lain ada pelabuhan di Bonebobakal dan Balantak dan ada juga dermaga di Sulubombong, Boras dan desa-desa lainnya. Hasil tangkapan ikan tersebut biasanya dijual baik melalui pasar ataupun dijual sendiri dengan menggunakan transportasi mobil, motor, sepeda, kapal, perahu atau perahu motor (katinting). Penduduk atau masyarakat suku Balantak menangkap ikan dengan pukat, bubuh (poloi, balangkang) atau dengan pancing. Namun umumnya, mereka menangkap ikan dengan pukat dan pancing (ba kololon). Akan tetapi tak jarang dijumpai pula, ada penduduk yang menangkap ikan dengan bubuh, tuba (ba tubele) atau mencari ikan saat air surut (ba lolongi). Ikan yang biasa ditangkap oleh penduduk antara lain: ikan tongkol, roa (tampai’), babara, cakalang, konting, kurita, ikan batu, dan lain sebagainya.

3. Bertani
Mata pencaharian pokok yang terbesar dalam masyarakat suku Balantak adalah bercocok tanam atau bertani. Bertani merupakan warisan nenek moyang turun-temurun kepada anak-anaknya. Dikatakan sebagai warisan karena berdasarkan amanah para leluhur tanah Balantak dengan pesan: Tiodaa Monsu’ani Tano (tiodaa: harus/musti, monsu’ani: menanami, tano’: tanah) secara harafiah berarti: Harus menanami tanah. Sejatinya, pesan ini mengandung makna yang amat sangat mendalam yakni manfaatkanlah tanah dengan bercocok tanam. Artinya janganlah sekali-kali membiarkan lahan menjadi kosong tanpa ditanami tanaman yang bermanfaat dan berguna bagi keberlangsungan hidup kita. Bagi masyarakat suku Balantak, tanah merupakan warisan kekayaan yang darinya dapat memberikan kehidupan. Dengan memanfaatkan tanah untuk bercocok tanam dapat memberikan penghasilan dan makanan untuk kehidupan. Sebab sejak dahulu kala, nenek moyang orang Balantak sudah mengenal bercocok tanam. Maka tak heran lagi jika pesan moral ini selalu menggema dan membahana di hati setiap masyarakat suku Balantak. Hingga saat ini, pesan tersebut terpatri dalam jiwa masyarakat suku Balantak dan teraktualisasi dalam pemanfaatan tanah di wilayah suku Balantak.
            Hampir setiap rumah tangga memiliki tanah baik berupa ladang atau sawah. Sistem kepemilikan tanah dalam suku Balantak dikenal dengan tano’ku (tanah milik sendiri yang diperoleh dengan pembelian), tano poo obosan (tanah milik yang diperoleh dari pembagian harta) dan tano’ budel (tanah milik bersama).
Sistem bercocok tanam di ladang (poo ale’an) ada yang hanya ditanami beberapa kali kemudian berpindah tempat lagi, dan ada juga yang menetap. Biasanya tanah yang berada di bagian lereng gunung hanya dipergunakan sementara waktu kemudian ditinggalkan, sedangkan tanah yang tetap selalu dipakai adalah tanah yang berada di daerah subur dan tidak berbukit-bukit. Ada juga beberapa penduduk yang bertani di daerah pegunungan kemudian tinggal di kebunnya untuk beberapa hari. Adapun tanaman yang sering ditanam adalah padi, jagung, sayur-sayuran, rempah-rempah, ubi-ubian, pisang, buah-buahan, kelapa dan holtikultura lainnya.
Masyarakat suku Balantak dalam mengolah lahan pertanian baik sawah ataupun ladang menggunakan bajak (pajeko) namun seiring dengan perkembangan tekonologi zaman, saat ini sudah mulai menggunakan mesin traktor untuk mengolah sawah atau ladang. Pemakaian bajak atau pajeko menggunakan tenaga sepasang sapi sebagai penarik. Ladang-ladang yang berada di lereng gunung tidak menggunakan bajak untuk menanam padi melainkan dengan tongkat kayu atau biasa disebut dengan “tutudak” (sebatang kayu yang ditajami ujung). Alat-alat lain yang dipakai untuk mengolah tanah adalah cangkul (pacol).
Ketika mengolah tanah untuk ladang, keluarga batih merupakan inti dari satuan kerja pengelolaan lahan tersebut. Namun bila lahan ladang atau sawah tersebut besar maka memerlukan tenaga bantuan dari keluarga dekat atau kerabat dekat dengan system kerja sama yang dikenal dengan poo panda. Poo pandaa adalah system atau bentuk saling kerja sama secara gotong royong dengan berbalasan atau arisan tenaga. Poo pandaa ini dimaksudkan untuk saling membantu dalam pekerjaan agar cepat terselasaikan. Akan tetapi dalam sistem poo pandaa, orang yang telah kita bantu harus membalas jasa dengan bekerja di ladang/sawah kita. Dalam tradisi masyarakat Suku Balantak, system poo pandaa ini tidak mengenal imbalan uang  akan tetapi  dengan pemberian waktu dan tenaga kita. Sebagai contoh: Tuan A, B, C memiliki sawah atau ladang. Ketiganya memerlukan tenaga yang cukup untuk mengolah ladang/sawah tersebut. Maka Tuan A, B, C mengadakan kerja sama mengolah ladang atau sawah. Pertama-tama, B dan C bekerja di ladang A, kemudian A dan C bekerja di ladang B, lalu A dan B bekerja di ladang C. Inti dari system poo panda ini adalah saya bekerja pada orang lain dengan harapan orang lain bekerja pada saya. Makna dibalik system ini adalah adanya saling membantu atau tolong menolong satu dengan yang lain dan orang lain yang telah dibantu juga jangan lupa membalas kebaikan yang telah diberikan. Poo pandaa ini biasanya hanya berlaku dalam pekerjaan. Ketika ladang atau sawah seseorang sudah dikerjakan oleh orang lain (disebut: ni pandaa’mo) maka pemilik ladang/sawah harus membalas tenaga dari mereka yang telah bekerja (disebut: mongule’kon: mengembalikan). Apa yang dikembalikan? Yang dikembalikan adalah tenaga orang yang telah bekerja pada kita; kita mengembalikan tenaga mereka dengan memberikan tenaga kita untuk bekerja di ladang/sawah mereka. Sistem poo pandaa ini dapat dikatakan pula sebagai system gotong royong yang menuntut balas jasa. [Dalam tradisi Balantak ada pula system gotong royong tanpa pamrih yang disebut poo tulungi (saling membantu). System poo tulungi dilakukan dengan ikhlas tanpa imbalan atau balas jasa. System ini umumnya dilakukan pada saat duka dan pekerjaan membangun fasilitas umum]. Selain poo panda, adapula yang menyewa tenaga; adapula yang dikerjakan oleh orang lain dengan system bagi hasil

4. Beternak 
            Dalam masyarakat suku Balantak, beternak atau mo’ayop merupakan pekerjaan sambilan saja atau bahkan hanya sebagai kesenangan saja. Hewan atau binatang ternak yang umumnya dikenal dalam masyarakat suku Balantak adalah berupa, sapi, ayam, bebek, kuda, angsa, dan babi. Ternak seperti kuda dan sapi umumnya dipakai sebagai pembantu tenaga kerja dan penarik gerobak. Bagi yang beragama Islam pun memelihara ternak tersebut kecuali babi dan anjing.
Di daerah Balantak, ternak-ternak seperti kuda dan sapi sangat membantu penduduk untuk mengolah lahan ladang atau sawah. Sedangkan ternak-ternak yang lain juga biasanya dijual dan dikonsumsi oleh pemilikinya. Di daerah ini juga memiliki pasar (Bonebobakal dan Balantak) yang menjual daging ternak atau bahkan para penjual sendiri yang langsung datang ke kampung-kampung untuk menjual daging ternak.



Hubungan Kekerabatan Dan Kemasyarakatan Suku Balantak

Sifat hubungan kekerabatan alam masyarakat Balantak adalah bilateral. Keluarga-keluarga intinya tergabung ke dalam kesatuan keluarga luas terbatas yang disebut bense. Sebuah desa biasanya dihuni oleh dua atau tiga bense dan tergabung lagi ke dalam kesatuan pemukiman sosial yang disebut bosano (kampung), sistem perkawinan bersifat endogami. Bosano juga menjadi gelar bagi kepala Desa atau kepala Kampung yang bersangkutan. Pada masa dulu masyarakat Balantak menjadi bagian dari kerajaan Banggai, sehingga setiap bosano bertanggung jawab kepada raja Banggai. Pada masa sekarang pengaruh pelapisan sosial akibat adanya kerajaan itu tidak ada lagi.



Agama Dan Kepercayaan Suku Balantak

Orang Balantak sekarang sudah memeluk agama Islam atau juga Kristen. Namun sisa-sisa dari kepercayaan aslinya masih nampak, dulu mereka selain memuja roh nenek moyangnya, mereka juga memuja para dewa, seperti dewa matahari (mola), kemudian dewa bumi (kere).





sumber :
http://suku-dunia.blogspot.com/2014/08/sejarah-suku-balantak-di-sulawesi-tengah.html
http://sukubalantak.blogspot.com/2014/01/suku-balantak.html
http://protomalayans.blogspot.com/2012/10/suku-balantak-sulawesi.html